Jumat, 13 Maret 2015

Film Air Mata Iboe (film yang diproduksi masa Hindia Belanda)

Sulami dan Fifi Young dalam salah satu adegan film "Air Mata Iboe"




Air Mata Iboe adalah film Hindia Belanda (sekarang Indonesia) yang disutradarai dan ditulis Njoo Cheong Seng. Ini merupakan film terakhir yang diproduksi Majestic Film Company milik Fred Young. Film ini dibintangi Fifi Young (istri sang sutradara), Rd Ismail, A. Sarosa, dan Ali Yugo dan mengisahkan seorang ibu yang membesarkan anaknya namun dikhianati oleh putra tertuanya. Adegan musik di Film ini banyak menggunakan keroncong. Kopi Film Air Mata Iboe yang dirilis Desember 1941, saat ini diduga hilang. Beberapa sumber melaporkan film ini rampung pada masa pendudukan Jepang di Indonesia (1942–1945) oleh Tan Tjoei Hock. Film ini dibuat ulang kembali dengan judul yang sama pada tahun 1957.

 

Alur


Sugiati (Fifi Young) adalah ibu empat anak, tiga laki-laki, Achmad [Rd. Ismail], Idris [S. Poniman], Sumadi [A. Sarosa]) dan satu perempuan bernama Supinah (Sulami). Ia mencintai semuanya, tetapi Sumadi mendapat perhatian lebih karena ia tidak terlalu diperhatikan ayahnya, Subagio (Ali Yugo).

Tanpa sepengetahuan keluarganya, Subagio menjalani hidup sebagai perampok, suatu hari ditangkap polis pemerintah Hindia Belanda. Namun  Sumadi, putra ketiga Sugiati, dengan gagah berani mengaku bahwa dirinya sebagai pelaku perampokan, lalu diasingkan. Rasa bersalahmenghantui Subagio, yang akhirnya membuatnya jatuh sakit dan meninggal. Keadaan ini membuat Sugiati harus bertahan hidup sendirian. Anak-anaknya yang kaya, Achmad dan Idris, menolak mengurusnya. Putrinya, Supinah, mau mengurusnya tetapi ia sendiri terlalu miskin. Akibatnya, Sugiati harus mencari tempat tinggal dan bergantung pada belas kasih orang lain. Setelah pulang dari pengasingan, Sumadi membalas dendam terhadap saudara-saudaranya.

 

Produksi


Majestic Film Company asal Malang mengumumkan Air Mata Iboe pada Juni 1941 bersama dua film lain, Boedi Terbenam dan Bachtera Karam. Produksi langsung dimulai setelah itu. Film ini disutradarai dan ditulis Njoo Cheong Seng dengan nama pena M. d'Amour dan diproduseri Fred Young, pemilik Majestic. Film ini dibintangi istri Njoo, Fifi Young (tidak ada hubungan dengan Fred Young), Rd. Ismail, A. Sarosa, dan Ali Yugo. Njoo sebelumnya menyutradarai Djantoeng Hati (1941) yang juga berakhir tragis. Akan tetapi, ini adalah film pertama yang dibintangi istrinya di Majestic; ia sakit saat syuting film sebelumnya. Dibantu penata rias, Young memerankan Sugiati muda dan tua.


Film hitam putih ini disertai sebelas lagu keroncong yang digubah pengarah musik R. Koesbini (tokoh musik keroncong legendaries bersama Annie Landouw, Gesang, S. Abdoellah, Miss Roekiah, dll. . Lima pemeran film ini adalah penyanyi keroncong yang cukup terkenal, Soerip, Titing, Soelami, Ning Nong, dan Poniman.
Air Mata Iboe memiliki anggaran besar dan produksinya dimulai tahun 1941. Berdasarkan kesaksian sutradara Tan Tjoei Hock, Air Mata Iboe masih belum rampung saat pendudukan Jepang dimulai pada awal 1942. Pendudukan tersebut berujung pada penutupan nyaris semua studio film di Hindia Belanda. Njoo sudah mendirikan grup teaternya sesaat setelah pendudukan dimulai dan didukung Fred dan Fifi Young. Menurutnya, Tan menyelesaikan film ini antara tahun 1942 dan 1945. Sejumlah iklan dan ulasan yang diterbitkan di berbagai koran Surabaya mencantumkan bulan Desember 1941.


Air Mata Iboe tayang perdana di Sampoerna Theater, Surabaya, pada tanggal 24 Desember 1941. Film ini juga diiklankan dengan judul Belanda Tranen Eener Moeder, sebagai "ekstravaganza musikal". Sebuah ulasan anonim di Soerabaijasch Handelsblad mencatat banyaknya penggunaan musik keroncong dan memuji akting dan pembawaan lagu oleh aktor-aktornya. Ulasan tersebut juga memperkirakan banyak penonton pribumi yang mau menonton film ini.


Air Mata Iboe adalah film terakhir yang dibuat Majestic Film Company, yang kemudian ditutup pasca-pendudukan Jepang. Versi daur ulangnya yang disutradarai Fred Young dibuat tahun 1957 setelah Indonesia merdeka. Fifi Young kembali ambil peran sebagai Sugiati, sedangkan Rd. Ismail sebagai Subagio. Para pemeran di film daur ulang ini tidak terlibat dalam film aslinya.


Film ini diduga telah hilang. Antropolog visual Amerika Serikat Karl G. Heider menulis bahwa semua film Indonesia yang dibuat sebelum 1950 tidak diketahui lagi keberadaan salinannya. Akan tetapi, Katalog Film Indonesia yang disusun JB Kristanto menyebutkan beberapa film masih disimpan di Sinematek Indonesia dan Biran menulis bahwa sejumlah film propaganda Jepang masih ada di Dinas Informasi Pemerintah Belanda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar